OPO JARE, ORA ERUH SAMPAI ORA PO-PO
Dalam literatur nenek moyang kita pernah di sampaikan
menghargai hasil karya sendiri adalah bagian dari budaya kita. Tanpa itu kita
tak punya gagasan, pandangan dan pegangan bahkan pendirian dalam hidup. Jadinya
menunggu untuk dituntun dan diperintah.
Hidup di masyarakat memang yang lebih penting
adalah bisa menjaga etika dan estetika. Dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung. Contoh cara berpakain saja kita harus bisa menempatkan diri.
Disinilah letak etika dan estetika yang kita bangun demi menjaga
keselarasan dan keserasian aturan yang ada di masyarakat. Demi menciptakan
harmoni kehidupan yang lebih baik dan menjadi masyarakat taat aturan.
Tuntutan jaman
menjadikan seseorang yang kadang-kadang melupakan terhadap etika dan estetika
bangsa sendiri. Dan bangga punya kebiasaan seperti bangsa lain. Kalau dalam hal
baik tidak masalah justru dianjurkan tapi kalau sebaliknya justru menimbulkan
masalah baru. Sekedar catatan saja Adat timur, dulu orang berpakain semi telanjang
rasanya malu dan tidak sesuai adab ketimuran. Tidak dengan sekarang, justru
menjadi trend global . Banyak kita jumpai dijalan-jalan orang berpakaian
mulai dari model segitiga sama kaki. Ketiaknya kelihatan dengan
jelasnya. Sampai model segitiga sama sisi, ketiak dan pusarnya kelihatan
dengan lebih benar-benar jelas. Bahkan sampai pada model tertutup tapi
telanjang. Karena terlalu ketatnya pakaian yang dipakai mulai dari atasan
hingga bawahan. Jadinya seperti telanjang bulat, lekukan dan cekungan badan terlihat
dengan benarnya.
Semuanya karena mengikuti arus global.
Berfikir dan bertindak serba cepat tanpa memperhitungkan dampak akibatnya.
Dalam bahasa sederhana saya beralur dari niru, norak, narsis. Bukan
berangkat dari sebaliknya niru, yang benar-benar, persis. Inilah
titik silang pemutakhiran data terakhir perbedaan yang menonjol keberadaannya.
Disinilah peran agama sebagai kontrol sosial atau
filter budaya sangat dibutuhkan dan sangat menentukan. Tentunya alur kesadaran diri bisa terbangun
berawal dari kesadaran diri masing-masing. Tanpa itu semuanya takkan terjadi
sebagaimana mudahnya membolak-balikkan tangan.
Bagi sebagian masyarakat yang kurang memperhatikan
dampak dan akibatnya. Karena terlalu sibuknya sehingga tak terluangkan untuk
dipikir. Sehingga semuanya terjadi dibalas dengan kata-kata yang ringan
diucapkan opo jare, ora eruh lan ora po-po.seng penting urip.
Namun sebagai catatan tambahan dalam bukunya
Naisbit yang berjudul Megatrens 2000. Memang benar adanya, disebutkan
kematangan keberagamaan di Indonesia euforia atau trend . Tak jauh beda
dengan trend global lainnya seperti fan, food, fashion.
Karena kematangan keberagamaan sebatas euforia
atau trend. Sehingga tiap diri tidak mampu memposisikan sebagai kontrol
sosial atau filter budaya. Mungkin ini juga bisa dijadikan tambahan bahan
renungan membangun kemaslahatan menuju bahagia dan sejahtera bersama.
Semoga Bermanfaat & Menambah Barokah ...