Minggu, 28 Februari 2016

OPO JARE, ORA ERUH SAMPAI ORA PO-PO

OPO JARE, ORA ERUH SAMPAI ORA PO-PO

Dalam literatur nenek moyang kita pernah di sampaikan menghargai hasil karya sendiri adalah bagian dari budaya kita. Tanpa itu kita tak punya gagasan, pandangan dan pegangan bahkan pendirian dalam hidup. Jadinya menunggu untuk dituntun dan diperintah.  
Hidup di masyarakat memang yang lebih penting adalah bisa menjaga etika dan estetika. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Contoh cara berpakain saja kita harus bisa menempatkan diri. Disinilah letak etika dan estetika yang kita bangun demi menjaga keselarasan dan keserasian aturan yang ada di masyarakat. Demi menciptakan harmoni kehidupan yang lebih baik dan menjadi masyarakat taat aturan.
Tuntutan jaman menjadikan seseorang yang kadang-kadang melupakan terhadap etika dan estetika bangsa sendiri. Dan bangga punya kebiasaan seperti bangsa lain. Kalau dalam hal baik tidak masalah justru dianjurkan tapi kalau sebaliknya justru menimbulkan masalah baru. Sekedar catatan saja Adat timur, dulu orang berpakain semi telanjang rasanya malu dan tidak sesuai adab ketimuran. Tidak dengan sekarang, justru menjadi trend global . Banyak kita jumpai dijalan-jalan orang berpakaian mulai dari model segitiga sama kaki. Ketiaknya kelihatan dengan jelasnya. Sampai model segitiga sama sisi, ketiak dan pusarnya kelihatan dengan lebih benar-benar jelas. Bahkan sampai pada model tertutup tapi telanjang. Karena terlalu ketatnya pakaian yang dipakai mulai dari atasan hingga bawahan. Jadinya seperti telanjang bulat, lekukan dan cekungan badan terlihat dengan benarnya.
Semuanya karena mengikuti arus global. Berfikir dan bertindak serba cepat tanpa memperhitungkan dampak akibatnya. Dalam bahasa sederhana saya beralur dari niru, norak, narsis. Bukan berangkat dari sebaliknya niru, yang benar-benar, persis. Inilah titik silang pemutakhiran data terakhir perbedaan yang menonjol keberadaannya.
Disinilah peran agama sebagai kontrol sosial atau filter budaya sangat dibutuhkan dan sangat menentukan. Tentunya alur kesadaran diri bisa terbangun berawal dari kesadaran diri masing-masing. Tanpa itu semuanya takkan terjadi sebagaimana mudahnya membolak-balikkan tangan.
Bagi sebagian masyarakat yang kurang memperhatikan dampak dan akibatnya. Karena terlalu sibuknya sehingga tak terluangkan untuk dipikir. Sehingga semuanya terjadi dibalas dengan kata-kata yang ringan diucapkan opo jare, ora eruh lan ora po-po.seng penting urip.
Namun sebagai catatan tambahan dalam bukunya Naisbit yang berjudul Megatrens 2000. Memang benar adanya, disebutkan kematangan keberagamaan di Indonesia euforia atau trend . Tak jauh beda dengan trend global lainnya seperti fan, food, fashion.

Karena kematangan keberagamaan sebatas euforia atau trend. Sehingga tiap diri tidak mampu memposisikan sebagai kontrol sosial atau filter budaya. Mungkin ini juga bisa dijadikan tambahan bahan renungan membangun kemaslahatan menuju bahagia dan sejahtera bersama.  

Semoga Bermanfaat & Menambah Barokah ...