Sebagaimana penjelasan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam keterangan tertulis menyampaikan, panduan diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antar warga masyarakat.
Menag mengatakan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat.
Tapi di sisi lain, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga diperlukan upaya demi merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
Adapun pedoman penggunaan pengeras suara tersebut diantaranya meliputi pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid atau mushala.
Volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan dan paling besar 100 desibel, hingga dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, hendaknya memerhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan akhir ayat, tarhim.
Untuk memperjelas sebagaimana keterangan tersebut di atas. Ada beberapa pendapat dari beberapa Ulama' Besar yang patut dijadikan tambahan referensi. Agar tidak mudah gagal paham dan meresahkan masyarakat pada umumnya. Diantara penjelasan Ulama' tersebut antara lain sebagai berikut:
Syekh Nawawi al-Bantani mengatakan:
وَ يَحْصُلُ أَصْلُ السُّنَّةِ بِمُجَرَّدِ الرَّفْعِ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ أَوْ أَحَدًا مِنْ الْمُصَلِّينَ وَكَمَالُ السُّنَّةِ بِالرَّفْعِ طَاقَتَهُ بِلَا مَشَقَّةٍ.
"Kesunahan azan shalat jamaah sudah didapat dengan hanya mengeraskan suara melebihi yang bisa didengar oleh dirinya atau salah satu orang yang akan shalat. Adapun sunah yang sempurna bisa dicapai dengan mengeraskan suara semampunya namun tanpa menimbulkan kesulitan." (Nihayah az-Zain, hlm. 96)
Di satu sisi, suara yang dihasilkan dari rangkaian ibadah sunah seperti azan, zikir, tadarus Al-Quran dan semacamnya tidak selamanya baik jika menimbulkan dampak negatif terhadap orang lain. Misalkan mengganggu orang shalat dalam masjid atau tetangga yang sedang beristirahat. (Hasyiyah at-Tarmasi, III/96)
Selaras dengan itu Habib Abdurrahman al-Masyhur memberikan penjelasan:
لَا يُكْرَهُ فِي الْمَسْجِدِ الْجَهْرُ بِالذِّكْرِ بِأَنْوَاعِهِ، وَمِنْهُ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ إِلَّا إِنْ شَوَّشَ عَلٰى مُصَلٍّ أَوْ أَذٰى نَائِمًا، بَلْ إِنْ كَثُرَ التَّأَذِّى حَرُمَ فَيُْمنَعُ مِنْهُ حِيْنَئِذٍ ... فَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثَمَّ تَشْوِيْشٌ أُبِيْحَ بَلْ نُدِبَ لِنَحْوِ تَعْلِيْمٍ إِنْ لَمْ يُخَفْ رِيَاءٌ.
“Tidak makruh mengeraskan suara bacaan zikir dan semacamnya, di antaranya membaca Al-Quran dengan kecuali jika menggangu orang shalat atau mengusik orang tidur. Bahkan jika suara itu lebih banyak mengganggu, maka haram dan boleh dihentikan. Jika di sana tidak memunculkan suara yang mengganggu, maka hukumnya boleh bahkan dianjurkan untuk kepentingan seperti pengajaran selama tidak dikhawatirkan ada unsur pamer.” (Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 108)
Tentu pada prakteknya, banyak orang atau lingkungan yang sama sekali tidak terganggu dengan bunyi pengeras suara masjid atau musala. Sehingga dalam keadaan ini, tidak ada lagi hukum makruh atau haram. Yang ada adalah sunah sebagai syiar agama Islam.
Namun dalam rangka menertibkan kegiatan keagamaan, pemerintah diperbolehkan membuat aturan yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala atas dasar kemaslahatan. (Al-Mawahib as-Saniyah, hlm. 108).
Semoga penjelasan dari referensi ini memberikan pencerahan kepada kita untuk meraih prestasi beribadah di tengah masyarakat yang serba majemuk.
#Semoga Bermanfaat & Menambah Berkah...
#Salam Perubahan, Menuju Kemajuan, Dengan Tujuan...
#Salam Satu Jiwa, Buktikan Kita Pasti Bisa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar