Kamis, 11 Mei 2023

Kyai, Kultural dan Struktural

Kyai, Kultural dan Struktural

Dalam jalinan referensinya, Sosok Kyai posisinya sebagai tokoh sentral, yang kemudian masyarakat memberikan legitimasi bahwa kyai adalah sosok yang paling otoritatif dalam mengatasi aneka ragam persoalan yang dihadapi umat, mulai dari masalah pribadi, sosial ekonomi, bahkan persoalan yang berkaitan dengan politik. 

Gayung bersambut, hal ini kemudian menjadikan kyai dan pesantren tidak hanya mempunyai peran agamis, tapi juga terlibat dalam persoalan politik. Posisi kultural dan struktural ini secara sosiologis menjadikan kiai sebagai sosok elit yang menempati strata lebih tinggi dalam tatanan masyarakat.

Sebagai imbas dari era reformasi, yang terus menggulir ini kyai dan secara otomatis pesantrennya, terlibat aktif dalam politik praktis. 

Walaupun ini merupakan hal yang lumrah dan biasa, namun tetap saja menjadi wacana yang hangat dan terus menarik perhatian, sehingga timbul pertanyaaan yang lumrah dan butuh jawaban 

Bolehkah kyai berpolitik? Atau bolehkah pesantren terbawa arus politik praktis?

Hal ini kerap menimbulkan kontroversi, antara yang pro dan yang kontra. Pada interpretasi tertentu, keterlibatan kyai dalam politik dimaknai sebagai sebuah dinamika pesantren untuk mendorong terciptanya masyarakat partisipatif kritis, disamping sebagai modal membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang aktif, dinamis, dan mandiri, yang pada akhirnya akan memberikan kebebasan anak bangsa mengekspresikan pemikirannya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 

Dalam iklim demokrasi semua memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan negara.

Namun dari sisi fungsi politik dan perspektif yang lain, keterlibatan mereka dianggap tidak produktif dan membingungkan, dan berakhir menjadi  pangkal perpecahan dan konflik sosial dalam skala massif, karena telah terjadi polarisasi dan politisasi agama. 

Lumrah untuk diketahui bahwa kiai sebagai pribadi pasti punya ambisi dan cita-cita, selalu punya pilihan dan orientasi politik yang berbeda baik sebagai pribadi anggota masyarakat dan warga negara maupun sebagai pemimpin pesantren.

secara umumnya, masalah muncul akibat tidak terjembataninya pola komunikasi yang konstruktif, antara institusi pesantren, masyarakat, dan partai politik. 

Bahkan pada level tertentu, terjadi mobilisasi yang dilakukan oleh pengikut fanatik mereka, yaitu santri dan masyarakat, tanpa sepengatahuan kiai.

Akibatnya, timbul friksi dan faksionalisme yang acap kali berujung pada perselisihan yang meluas, mulai dari perbedaan politik ke masalah ekonomi, sosial, bahkan hingga hubungan kekerabatan sebagai imbas dari perbedaan pilihat politik. 

Utamanya di daerah-daerah panas seperti pesantren-pesantren Madura dan daerah tapal kuda Jawa Timur. Apalagi menjelang pemilu dan pilkada yang menjadi agenda politik harian masyarakat demokrasi.

#Semoga Bermanfaat & Menambah Berkah.....
#Salam Membangun Peradaban Dengan Keadaban.....
#Salam Perubahan, Menuju Kemajuan, Dengan Tujuan.....
#Salam Satu Jiwa, Buktikan Kita Pasti Bisa.....

In Frame
Napak Tilas Kyai Sesepuh Pantura

Tidak ada komentar: