Selasa, 12 April 2022

Memahami: Makna Puasa Secara Seksama

Memahami: Makna Puasa Secara Seksama

Untuk mewujudkan puasa yang berkualitas diperlukan pandangan yang positif terhadap ibadah puasa tersebut. 

Dari analisis psikologis, filosofis, dan normatif puasa dapat dilihat dalam beberapa perspektif sebagai berikut,

Pertama, puasa sebagai rahmat. Hal ini selaras dengan motivasi hikmah yang sering tersebutkan, bahwa puasa itu awalnya rahmah, pertengahannya maghfirah, dan akhirnya adalah ampunan dari api neraka. Hal ini sejalan pula dengan sikap para ahli tasawuf yang merasa bahagia dengan datangnya puasa ramadhan dan bersedih apabila ramadhan berakhir. Puasa dianggap rahmat atau anugerah, karena puasa walaupun secara lahiriyah seperti sebuah penyiksaan fisik, namun secara ruhani dan sosial, puasa dapat mengurangi dan menghapuskan dosa, mendekatkan diri kepada Tuhan, menyehatkan tubuh, menumbuhkan sikap simpati dan empati, menumbuhkan akhlak mulia, mengendalikan hawa nafsu, menimbulkan kebahagiaan batin. Dengan hasil yang demikian itu, maka ibadah puasa erat kaitannya dengan momentum pendidikan budi pekerti. Wahbah al-Zuhaili menyatakan, bahwa ibadah puasa adalah merupakan proses pembentukan akhlak mulia. Dalam hubungan ini Wahbah al-Zuhaili  dalam  al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz  II (1404 H/1984 M: 567) mengatakan, bahwa ibadah puasa merupakan bentuk keta’atan kepada Allah, orang mukmin yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda, karena langsung dari Allah, kemuliaan Allah amat luas, mencapai keridlaan-Nya, berhak masuk syurga al-Rayyan, dijauhkan dirinya dari siksa Allah yang disebabkan perbuatan dosanya masa lalu, puasa merupakan penghapus dosa dari satu tahun ke tahun lain, dan dengan keta’atan ini menyebabkan orang mukmin selalu mengikuti perintah yang digariskan Allah dan mendorongnya menjadi orang yang  bertaqa yang senantiasa mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebagaimana dimaksud dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 183)

Kedua, puasa sebagai amanah. Hal ini terkait dengan tugas yang harus dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan dan masyarakat. Tanggung jawab puasa di hadapan Tuhan terkait erat dengan konsekwensi logis dari kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang beriman, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana juga telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu.” (Q.S. al-Baqarah, 2:186). Sedangkan tanggung jawab puasa di hadapan manusia terkait erat dengan keharusan menunjukkan sikap bertaqwa yang ciri-cirinya: senantiasa menginfaqan sebagian hartanya baik dalam keadaan susah maupun bahagia, mengendalikan amarah, suka mema’afkan kesalahan orang lain, memiliki sikap simpati dan empati terhadap kaum dhu’afa. (Q.S. Ali Imran 3:133-134). Dalam konteks pertanggung jawaban dengan manusia ini, ibadah puasa mengharuskan orang yang mengerjakannya memiliki akhlak yang mulia. Dalam hubungan ini Wahbah al-Zuhaili  dalam  al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz  II (1404 h/1984 M: 567-569) mengatakan, bahwa ibadah puasa merupakan lembaga pendidikan karakter yang amat besar, karena dengan ibadah puasa seorang mukmin memperoleh keuntungan yang banya, yaitu jihad lin nafs, mengendalikan hawa nafsu dan bujukan syaithan yang selalu menggoba, membiasakan manusia bersikap sabar terhadap segala yang diharamkan Tuhan, dan berbagai hal yang medorongnya, karena dorongan makan itu sangat kuat, dan kenikmatannnya sangat menggoba. Ibadah puasa mengajarkan manusia agar bersikap amanah dan senantiasa dekat dengan Allah baik dalam keadaan lahir maupun batin langsung di bawah pengawasan Allah, memperkuat tekad dan keingingan, mempeekuat keyakinan, menolong membersihkan pemikiran, mengajarkan ta’at pada aturan dan undang undang, menumbuhkan sikap simpati dan empari, persaudaraan dan perasaan ikatan dan tolongan menolong yang kuat, membatasi selera hawa nafsu, jihad terhadap hawa nafsu, jika senantiasa tenang. Hal ini sejalan pula dengan pendapat ‘Aid Abdullah al-Qarni dalam al-Durus al-masjid al-Ramadhan (Sekolah Ramadhan), (1425 H/2004 M:19-20) yang mengatakan, bahwa puasa mengandung hikmah agar bertakwa yang dibutikan dengan menundukan pandangan, menjaga kemaluan, mengekang hawa nafsu dan mengendalikan amarah; agar bersabar, menghidupkan hati, menumbukan rasa sosial, persatuan dan kesehatan.

Ketiga, puasa sebagai kebutuhan fithrah manusia. Hal ini terkait dengan fithrah manusia sebagai makhluk yang cenderung menyukai nilai-nilai yang baik: ikhlas, jujur, disiplin, tanggung jawab, simpati, empati, senang kepada kerjasama. Fithrah manusia yang demikian itu dapat dipenuhi melalui ibadah puasa. Selain itu, fithrah manusia juga terkait dengan siklus kehidupan manusia. Yaitu bahwa jika manusia ingin sukses, maka ia harus berusaha mengendalikan dan mendisiplinkan diri dalam menjalani proses. Seekor ayam yang ingin memiliki keturunan dalam bentuk telornya menetas menjadi ayam, mengharuskan ia harus mengerami telornya selama sekian hari. Ini adalah fithrah yang harus ia jalani. Demikian pula seokor kepompong yang ingi menetas menjadi kupu-kupu, maka kepompong tersebut harus bertahan sekian lama, hingga kepompong tersebut berubah menjadi kupu-kupu. Demikian pula, seorang ibu hamil yang ingin memiliki keturunan, ia harus menjali fithrah hamil selama sembilan bulan lebih dalam keadaan tabah dalam menjalaninya. Fithrah manusia yang demikian itu sudah diajarkan melalui ibadah puasa yang pada intinya adalah kesabaran. Hal ini sejalan dengan arti dari ibadah puasa itu sendiri yang berarti menahan diri, dan mengendalikan diri. Lebih kesabaran dan ketabahan ini pula yang menjadi kunci ukuran besarnya pahala yang diterima oleh orang yang mengerjakan ibadah puasa. Nabi Muhammad SAW menyatakan, bahwa barangsiapa berpuasa ramadhan disertai keimanan dan perhitungan yang mantap, maka akan diampuni segala dosanya, dan diberikan pahala yang berlipat ganda, dan dibalas langsung oleh Tuhan. Dalam ‘Aun al-Ma’bud, kitab Syarah Sunan Abu Daud, menyatakan tentang sebab atau alasan mengapa pahala puasa itu begitu besar dan langsung dibalas oleh Allah secara langsung, karena orang yang berpuasa itu tengah meniru sifat-sifat Allah, seperti tidak makan dan tidak minum, dan di dalam ibadah puasa tersebut ada unsur kesabaran. Hal ini sejalan dengan pendapat  Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu, Jilid I, (tp.th: 220-221) yang mengatakan, bahwa ibadah puasa menjaga pandangan dari segala yang tidak seharusnya dilihat oleh mata, memilihara lisan dari ucapan yang keji, dusta, gunjing, dan mengharuskan berdia, tidak mengatakan sesuatu kecuali berzikir, dalam kebaikan, dan membaca al-Qur’an, memilihara pendengaran dari segala hal yang makruh, dan menjaga fisik dari segala hal yang diharamkan dan dimakruhkan serta memelihara perut pada waktu syahur dari segala yang menimbulkan selera tinggi.

#Semoga Bermanfaat & Menambah Berkah.....
#Salam Perubahan, Menuju Kemajuan, Dengan Tujuan.....
#Salam Satu Jiwa, Buktikan Kita Pasti Bisa


In Frame
Sejenak Bersama Bpk. KH. Sugiono, Ketua MWCNU Kec. Porong Kab. Sidoarjo

Tidak ada komentar: