Menjamurnya Fenomena di masyarakat akan keberadaan orang-orang berduit tanpa latar belakang keilmuan agama yang memadai bahkan tanpa sama sekali, mendirikan pondok pesantren dengan ustadz yang mengajar hasil outsourcing adalah awal suatu bencana yang tergulirkan.
Dalam rekam jejak sejarahnya muslim Nusantara, mendirikan pondok pesantren itu adalah sesuatu yang sakral, selain mempunyai ilmu keagamaan mumpuni yang dibuktikan dengan kemampuan membaca, memahami, mengartikulasikan kitab dari level dasar sampai tinggi bidang, fikih misalnya safinah sampai Muhadzab, iqna, Fathul wahab, nahwu dari jurumiah sampai alfiyah, lengkap dengan perdebatan madzhab-madzhabnya, mahir dalam 12 disipilin ilmu dari level bawah sampai atas. Dan, juga harus ditunjang dengan daya kemampuan spiritualitas yang tinggi sebagai dasar pijakan mengarungi medan dakwah yang terjal.
Seandainya Karena kemampuan ilmu keagamaan saja belum cukup, mau mendirikan pondok pesantren akan cangguh. Lain ceritanya memang adakalanya membuka pondok pesantren atas saran, dorongan atau titah dari sang guru, atau bahkan bertirakat, mujahadah terlebih dahulu ketika mau mendirikan dengan harapan di kemudian hari akan membawa kebaikan bukan malah sebaliknya. Dari rekam jejaknya sejarah muslim nusantara ini, dahulu kyai membangun pondok pesantren karena faktor kebutuhan, diawali ngaji dulu dengan fasilitas seadanya, bermula dari musolla atau langgar, masjid, ketika santri makin hari makin banyak baru membuat asrama dengan berbagai kelengkapannya. Kebalikannya sekarang orang-orang berduit tanpa latar belakang keilmuan agama sama sekali mendirikan pondok pesantren dengan ustadz yang mengajar hasil outsourcing sebagai pilihan alternatifnya, ini adalah awal suatu bencana tergulirkan.
Dalam konteks sejarah peradaban Islam atau pendidikan Islam, jika ditelusuri lebih jauh seperti itu, maka akan menemukan istilah madrasah Kufah, bagdad, Madinah, Mekah d.s.t. Bahkan di Indonesia sendiri pesantren besar juga bermula seperti itu, sebut saja pondok pesantren Mojosari Nganjuk asuhan KH. Zainuddin Mojosari yang masyhur itu, pondok pesantren Lirboyo asuhan KH. Anwar Manshur, pondok pesantren Sidogiri asuhan KH. Ahmad Fuad Noerhasan, pondok pesantren Langitan asuhan KH. Ubaidilah Faqih, pondok pesantren Ploso asuhan KH. Muhammad Abdurrahman Al-Kautsar, bahkan pondok pesantren Gontor asuhan KH. Hasan Abdullah sahal, meskipun yang terakhir ini mempunyai orientasi dan kurikulum yang berbeda secara signifikan dengan nama pesantren tersebut di atas. Tapi secara umum sama, ngaji dulu, santri semakin tambah banyak, baru berinisiatif membangun asrama dengan berbagai kelengkapannya.
Dan lebih cocoknya bagi orang-orang yang berduit tanpa latar belakang keilmuan agama sama sekali tidak harus bangun pesantren, cukup bangun boarding school, sekolah terpadu, atau istilah sejenis. Ini berbeda dengan pondok pesantren yang mensyaratkan bisa mengkaji varian kitab kuning, punya sanad keilmuan yang jelas dan tidak profit oriented tentunya.
Dalam rekam sejarah berdirinya pondok pesantren itu tidak profit oriented, atau lembaga nirlaba, tidak mencari keuntungan, seperti Rumah sakit. Tapi sekarang, pondok pesantren-pondok pesantren yang baru berdiri (dalam tanda kutip) atau diwariskan ke generasi berikutnya sudah berorientasi pada relasi nilai keuntungan.
Pesan moralnya bangun pondok pesantren itu biar lebih ikhlas dan benar-benar istiqamah untuk kemaslakhatan umat harus siap hidup sederhana pendirinya, atau kyainya minimal harus kaya dulu sebelum bangun pondok pesantren, supaya tidak menjadikan pondok pesantren sebagai tempat peternakan santri (lahan bisnis mencari keuntungan yang kemudian hari bisa terwariskan).
Harapan besarnya, bagi pemerintah seharusnya membuat regulasi ketentuan pondok pesantren dan jenis pendidikan asrama lainnya seperti boarding school atau sejenisnya dengan tegas. Sebelum diberi ijin pendiriannya harus ada tes psikologi, dan rumah tangganya di scrining, kalau misalkan tidak harmonis, tidak perlu diloloskan ijinnya demi kebaikan atau terjadinya malpraktik di kemudian hari. Seperti yang terjadi di kota Bandung kemaren.
Imbasnya kasus yang terjadi kemaren sebenarnya malpraktik dari boarding school, namun lembaga pendidikan seperti itu di pemberitakan disebut pondok pesantren. Itu jelas berimbas secara langsung pada pondok pesantren dengan kualifikasi tinggi dan punya sejarah yang lama dan rekam jejak yang panjang. Akibatnya banyak keluarga mengurungkan niat mengirim anak atau anggota keluarga mereka ke pondok pesantren karena khawatir terjadi peristiwa seperti itu terulang dan terjadi pada keluarganya. Padahal itu sekali lagi perlu ditegaskan kembali, terjadinya peristiwa itu bukan di pondok pesantren melainkan di boarding school atau sekolah berbasis agama.
Alhamdulillah dengan terbongkarnya kasus tersebut menteri agama, Yaqut Cholil Qoumas mengambil suatu langkah kebijakan akan memperketat pemberian izin untuk pendirian boarding school atau sekolah berbasis agama, segalah aktivitasnya terpantau dengan baik.
Semoga Bermanfaat & Menambah Barokah …
#Salam Perubahan, Menuju Kemajuan, Dengan Tujuan
#Salam Satu Jiwa, Tunjukkan Kita Pasti Bisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar