Senin, 20 Desember 2021

Islam dalam Bingkai Pemikiran Soekarno

Dalam rekam jejak diskusi jaringan Islam liberal, tertanggal 28 Mei 2009, yang mengulas ajaran Soekarno mengenai Islam liberal. Panitia menghadirkan Prof. M. Dawam Rahardjo dan Dr. Yudi Latif sebagai pembicara. Diskusi yang dipandu oleh Novriantoni Kahar, MA itu berlangsung selama dua jam dan dihadiri oleh sekitar 100 peserta. 

M. Dawam Rahardjo yang tampil sebagai pembicara pertama mengulas sejarah pemikiran Soekarno, khususnya mengenai persentuhan Soekarno dengan Islam. Sebetulnya, Soekarno dilahirkan tidak dalam tradisi santri, melainkan abangan. Ibunya bahkan berasal dari Bali dan beragama Hindu. Persentuhan Soekarno dengan Islam langsung pada level high Islam yang rasional filosofis, tidak dengan low Islam, yakni pendidikan Islam tradisional. Soekarno bersentuhan dengan Islam langsung pada tradisi pemikiran, bukan pada tradisi ritual. 

Ada banyak kalangan yang memandang bahwa rumusan Dasar Negara yang disusun oleh Soekarno bukan hanya renungan mengenai Indonesia, melainkan juga refleksi atas perkembangan politik masyarakat dunia. Pancasila memuat klaim terhadap ide-ide besar pemikiran politik terbaru saat itu. Dia tidak hanya merespon gerakan kemerdekaan negara-negara jajahan kolonial, melainkan juga mengamati secara lebih dekat keruntuhan rezim kekaisaran Turki Utsmani, yang selama bertahun-tahun diakui sebagai simbol kedaulatan politik Islam.

pilihan politik Soekarno mendirikan Indonesia dengan dasar kebhinekaan bukan sekadar buah dari pemikiran “Barat,” melainkan juga respon mutakhir terhadap kegagalan politik rezim Islamis di dunia Islam. Kesadaran semacam  itu tertuang dalam pelbagai tulisan Soekarno semisal Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, Memudahkan Pengertian Islam, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, dan seterusnya. 

Ketika banyak pihak mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Soekarno memberi respon dengan mengajukan keberhasilan Mustafa Kemal Attaturk membangun Turki modern. Ia setuju dengan buku karangan Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, yang menyatakan bahwa risalah Nabi Muhammad tidak mengandung petunjuk eksplisit mengenai pilihan ideologi politik yang harus dianut oleh umat Islam. Ia menyatakan bahwa pilihan Attaturk memisahkan agama dari negara bukan hanya tidak melanggar syariat Islam, melainkan juga adalah respon cerdas terhadap kemunduran dunia Islam saat itu. Di banyak tulisan lain, Soekarno mengurai sederet kemunduran itu.

Pandangan bahwa Soekarno lebih mengapresiasi corak keberislaman di Turki dibantah secara serius oleh Yudi Latif. Menurut Yudi, Soekarno justru lebih mengapresiasi Islam Mesir ketimbang Turki. Turki, menurut Yudi, telah begitu ceroboh melakukan privatisasi agama, yakni membuang agama ke langit ketujuh. Sementara yang diinginkan Soekarno bukanlah pemisahan agama dari negara melainkan bagaimana memperbaharuinya.

Kesimpulan Yudi Latif cukup terkonfirmasi dalam pelbagai bentuk keprihatinan Soekarno pada kemunduran Islam. Pelbagai kemunduran itu, oleh Soekarno, dinilai sebagai fakta sosial, bukan kondisi yang diidealkan oleh ajaran Islam sendiri.

Perkenalan Soekarno dengan tradisi pemikiran Islam, menurut Dawam, ditunjang oleh khazanah ilmu sosial yang telah pula ia serap dari Barat. Pandangan sosiologisnya dipengaruhi oleh materialisme historis Karl Marx, yang menjadi sangat kentara dalam buku Sarinah. Sementara pandangan agamanya dipengaruhi oleh Auguste Comte. 
Kombinasi pelbagai tradisi keilmuan ini membawa Soekarno pada dua pendirian mengenai Islam: liberal dan progresif. Pada ranah liberalisme, Soekarno menekankan tentang pentingnya wacana pembebasan dalam Islam. Ia menulis Memudakan Pengertian Islam di Panji Islam (1949). Tulisan ini merefleksikan penguasaan Soekarno mengenai Islam dalam hal gejala sosialnya. Soekarno mempelajari aneka corak keislaman di pelbagai wilayah: Mesir, Palestina, India, Turki, Arab Saudi, dan lain-lain. Dari situ kemudian Soekarno mengambil kesimpulan bahwa apa yang disebut sebagai Islam bukanlah entitas tunggal, melainkan beragam. Gejala pluralisme, menurut Soekarno, ada dalam Islam, baik untuk kalangan eksternal, maupun internal. 

Soekarno juga memandang bahwa Islam adalah ide progresif (idea of progress). Di sini, Soekarno menyimpulkan bahwa Islam yang tampak mundur dan tertatih-tatih untuk bangkit itu bukanlah sejatinya Islam.

Kemunduran Islam, bagi Soerkarno, terutama disebabkan keengganan sarjana-sarjana Muslim menggunakan perspektif pengetahuan modern (modern science) dalam pemikiran Islam. Ia mengusulkan kepada pesantren-pesantren untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dalam tradisi Barat, di samping tradisi keilmuan Islam.

Semoga Bermanfaat ...
#Salam Perubahan, Menuju Kemajuan, Dengan Tujuan
#Salam Satu Jiwa, Tunjukkan Kita Pasti Bisa

Tidak ada komentar: