Sebagaimana yang pernah disampaikan direktur eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyowo Wibowo menilai yang penting dalam Muktamar ke 34 NU ini adalah perlunya regenerasi kepemimpinan. Dimana organisasi masyarakat ini yang jumlah anggotanya diperkirakan lebih dari 100 juta orang yang tersebar di belahan dunia.
Terkait soal regenerasi kepemimpinan di PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA pernah menyatakan "Kalau saya terpilih, beberapa ketua nanti diisi orang muda."
Memang dengan melihat faktanya di lapangan secara seksama, pelbagai problematika sekarang bukan lagi soal kemampuan sosok calon ketua umum. Sebab proses penjaringan & kaderisasinya NU sudah berlangsung secara sistemik, terjaga kemapananya & sustainable tentunya. Sehingga progres & impacnya tidak akan kekurangan kader yang berkualitas sebetulnya. Dan ke depannya benar-benar bisa meneguhkan kembali serta mengimplementasikan narasi Islam nusantara sebagai pengejawantahan Islam rahmatan lil alamin untuk menjaga kedaulatan serta keutuhan NKRI.
Menyikapi sebagaimana hal tersebut di atas KH. Yahya Cholil staquf pernah menyampaikan dalam suatu kesempatan, yang terpenting lagi adalah menyusun strategi NU ke depan dalam menjawab tantangan zaman yang multidimensi, lebih dari itu juga era disrupsi ini berdampak sistemik di pelbagai bidang kehidupan memerlukan perhatian serius dari NU.
Lain halnya dengan Gus Nadir dalam pemaparannya memiliki kriteria sendiri dalam konteks pemimpin ideal NU. Beliau meringkas dalam akronim PBNU. Bukan makna sebenarnya yang berarti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Tapi itu
merupakan singkatan.
"P-nya adalah pandai membaca perubahan
sosial. Orientasi kita saat NU berdiri bertarung dengan Wahabi. B-nya adalah bangkitkan kembali peradaban
Islam," jelasnya. Selanjutnya, Gus Nadir menyampaikan N dari akronim PBNU dalam
kacamatanya adalah nunut atau patuh kepada para masyaikh.
"Ini identitas kita. Kita harus menjaga adab karena masyaikh kita memutuskan sesuatu bukan hanya teks dan konteks tapi juga spritual. Ini salah satu kekuatan kita," jelasnya. "Terakhir adalah U, yakni untuk Indonesia tercinta. Sehebat apapun program kita konteksnya harus menjaga rumah kita bersama Indonesia."
Sementara itu dalam konteks pemahaman Gus Miftah memandang pemimpin ideal organisasi masyarakat terbesar di Indonesia tersebut harus memiliki pandangan visioner ke depan. "Hari ini banyak ruang publik yang sebenarnya itu milik Nahdlatul Ulama, milik aslussunnah wal jamaah nahdliyah itu direbut oleh orang-orang non NU. Saya pikir pemimpin ideal NU ke depan harus mampu menyelamatkan ruang-ruang publik ini," jelasnya. Menurut beliau, masih ada lagi ruang publik yang lebih luas. Yakni, persaingan di media sosial yang banyak digeluti akhir-akhir ini. "Ke depan pemimpin NU harus punya visi ke depan terkait persoalan ini. Bahkan saya minta kalau bisa persoalan dakwah di medsos menjadi kajian di muktamar besok bagaimana kemudian ruang ini bisa kita ambil," jelasnya. Sebagaimana penjelasan beliau dalam diskusi peringantan hari santri nasional di kampus Universitas Islam Malang, hari sabtu tertanggal 16 oktober 2021.
Simpul mendasarnya, majunya jami'iyah NU butuh kepemimpinan & peran serta dari kader yang berpendidikan, berpengalaman (kiprah rekam jejak intelektualnya terakui), siap mengahadapi tantangan & pandai menciptakan peluang berkemajuan untuk pengembangan NU ke depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar