Dalam satu kesempatan, Emha Ainun Nadjib atau lebih populer dengan sebutan Cak Nun yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai budayawan atau tokoh intelektual muslim Indonesia pernah mengatakan bahwa ada seseorang menyebut sesajen merupakan suatu bentuk menentang syariat. Menanggapi hal tersebut, beliau pun mengungkapkan bahwa tidak ada yang bilang bahwa adanya sesajen itu sebagai upaya menyembah hal-hal selain Allah, melainkan hanya menghormati ciptaan-Nya saja. (Baca: Mutiara hikmah Budayawan Nusantara)
Oleh karena itu pentingnya bagi kita untuk memahami salah satu ritual kebudayaan yang telah lama hidup di masyarakat Indonesia hingga saat ini. Yakni kebudayaan (tradisi) membuat sesajen atau sajen, tujuannya tidak lain biar kita tidak memiliki pemahaman yang salah. Akibat dari kesalahan ini sehingga bisa merusak hubungan kita antar umat beragama. Sesajen yang kita kenal di masyarakat pada umumnya tidak hanya kita temui di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, akan tetapi juga di hampir seluruh penjuru Nusantara bahkan di luar negeri. (Baca: Tradisi masyarakat Nusantara)
Dalam rekam jejak sejarah peradaban Nusantara, sesajen di beberapa daerah identik dengan ritual persembahan yang diberikan untuk dewa-dewi, roh leluhur atau makhluk gaib lainnya yang dianggap punya peran dalam ruang kehidupan.
Namun juga perlu kita ketahui bersama, bahwasanya ritual sesajen juga sudah mengalami akulturasi nilai dengan agama Islam, misalnya relasi nilainya diubah menjadi sedekah. Bahkan masyarakat setempat ada yang mengistilahkan dengan istilah sedekah bumi. Ini sebagai bentuk atau wujud rasa syukur kepada Tuhan karena diberi panen hasil bumi yang melimpah. (Baca: Rekam jejak perjuangan Walisongo)
Perlu untuk kita ketahui juga terkait filosofi dari varian isi sesajen yang masih bertahan dan dilestarikan mulai dari masa leluhur terdahulu hingga saat ini. Diantaranya adalah makanan yang dihidangkan dalam sesajen, seperti buah pisang yang memiliki simbol makna pengharapan keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa, kelapa yang merupakan pengingat cikal bakal atau yang mendahului sebelum seseorang hidup di dunia (yakni leluhur), janur simbol makna yang dimaksudkan agar masyarakat dapat hidup bahagia di dunia maupun di akhirat kelak, telur sebagai simbol makna bibit (asal usul), daun sirih atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan suruh atau disimbolkan sebagai kaweruh (pengetahuan), bunga kantil yakni memiliki simbol makna setiap orang yang hidup harus punya kumantile ati atau kemantapan hati, kenanga maksudnya hidup tentu akan "kenek ngene, kenek ngono" atau terkena ini terkena itu (berhadapan dengan masalah, dan mawar yang memiliki simbol makna bahwa semua ini akan selalu "mawarno-warno" atau penuh dengan warna. Namun meskipun demikian setiap kita diharus tetap memiliki berpegangan pada unsur & prinsip hidup agar tidak mudah goyah dalam menyelami samudera kehidupan yang penuh dengan tantangan. (Baca: Filosofi ajaran leluhur Nusantara)
Sebagai catatan penting bagi kita, jika ada seseorang melestarikan sesajen kemudian ada yang menyebutnya sebagai penyembah makhluk ghaib maka itu sudah menjadi ranah pribadi setiap orang yang menilainya.
Ini adalah suatu kewajaran hidup di tengah masyarakat pluralisme berkemajuan, sebab celahnya jika seseorang tidak suka akan mencari-cari kesalahan tertentu.
Oleh sebab itu dalam bahasa simpulnya sebagai penyempurna pengetahuan dalam konteksnya ini, dalam sesajen biasanya juga terdapat daun jati atau daun pisan kering yang dijadikan alasnya. Hal ini dimaksudkan agar sebelum menilai atau bertindak sesuatu seharusnya dipikirkan terlebih dahulu dampak atau efeknya. (Baca: Menciptakan kebersamaan di bumi Indonesia)
#Semoga Bermanfaat & Menambah Berkah ...
#Salam Perubahan, Menuju Kemajuan, Dengan Tujuan ...
#Salam Satu Jiwa, Tunjukkan Kita Pasti Bisa ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar