Suatu kewajiban bagi kita bersama adalah belajar agama dengan cara yang baik dan menggunakan jalan yang benar agar hasilnya maksimal tidak sebatas ucapan dalam rangkaian kata-kata. Atau, dalam bahasa sindiran Sang Penyair biar hasilnya tidak bagai bunga tak jadi berkembang dengan semestinya.
Apabila kita diberi kesempatan mengikuti suatu majlis ilmu, kemudian kita menemukan Ngus-tadz karbitan sebagai pengisi atau pemateri majlis tersebut mulai berani mengatakan dengan lenggangnya "bahwa kita tidak perlu mengikuti Imam Mazhab." Maka seharusnya bagi kita juga mengingatkan kembali kepada beliaunya tentang pentingnya sifat kerendahan hati sebagaimana yang dicontohkan Ulama-Ulama besar Nusantara di zamannya. Dalam hal ini seperti yang dicontohkan Imam Nawawi, dan bahkan bila perlu kita harus lebih rendah hati lagi dari Imam Nawawi. Karena kita sebetulnya tidak sebanding dengan beliaunya baik dalam sikap, tindakan, karya yang dihasilkan bahkan termasuk disiplin keilmuan yang beliau kuasai.
Adanya gembar-gembor slogan, "mari kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah." Kesannya terdengar sepintas merupakan suatu ajakan yang baik dan seakan-akan memiliki kebenaran yang tak terbantahkan. Namun perlu kita ketahui bersama di balik slogan tersebut, sesungguhnya terdapat jejaring dan jeratan ayat-ayat setan yang sangat berbahaya dalam melaksanakan misi buruknya. ini sengaja dibungkus rapi dengan kemasan agama kian mempesona terlihatnya.
Tes kejujuran sekarang, Ayo siapa yang tidak ingin berpegang teguh pada yang namanya Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai bukti menjadi seorang muslim yang taat? ... ayo siapa yang tidak ingin menjadikan keduanya sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan di dunia ini? ... ayo siapa yang tidak ingin menjadi umatnya Nabi Muhammad yang dikasihi lantaran dekat dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah? ...
Pasti dan tentu jawabannya adalah kita ingin sekali, demi keselamatan dunia dan meraih kebahagian di akhirat kelak.
Kemunculan slogan yang di sebar luaskan oleh ulah Ngus-tadz karbitan tersebut, ibarat bom waktu yang akan meluluh lantakkan kehidupan dan peradaban masyarakat pada saatnya nanti. Sedangkan kalau diibaratkan racun adalah merupakan racun yang mematikan. Susah menemukan obat yang mujarab untuk penawar kesembuhannya.
Kita bisa melihat secara seksama dalam ruang kehidupan masyarakat, akibat ulah bodoh dan sembronohnya kaum ngus-tadz karbitan yang mengaku lebih salafi dari salafi yang sesungguhnya. Dimana kaum ini memiliki kebiasaan dengan sangat mudahnya mempermainkan dan menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan Al-Hadits ala kelompok mereka. Dengan dalih kehebatannya, langsung mengambil jalan pintas kepada kedua Sumber Hukum dalam Islam tersebut. Kenyataannya justru yang terjadi malah berbuat banyak fitnah dan kerusakan bagi umat Islam di masyarakat pada umumnya.
Mari sejenak kita lakukan studi pembanding sebagai penguat argumen terkait hal tersebut di atas, tetap masih kita ambil contoh Imam Nawawi. Berdasarkan dari berbagai sumber referensi yang terpercaya, beliau memiliki sisi keilmuan yang sangat luar biasa, bahkan hafalan haditsnya lebih dari 350.000, sedangkan karya tulisnya tak hanya berisi satu disiplin ilmu pengetahuan semata namun juga dihiasi dengan sastra karena kepiawaian beliau dalam pemahaman bahasa Arab. Akan tetapi beliau masih rendah hati untuk mnyebut dirinya sebagai pengikut Imam Syafi'i.
Termasuk dalam hal ini, ambil contoh kedua misalkan Imam Ibnu Hajar al Asqolani, Amirul mukminin fil hadits, juga merupakan salah satu ulama yang menisbatkan diri kepada mazhab Syafi'i .
Perlu kita ketahui bersama bahwa Keduanya ini adalah ulama hadits terbesar di zamannya. Imam Nawawi menulis al Minhaj, syarah Sahih Muslim paling muktamad. Sedangkan Imam Ibnu Hajar menulis syarah Sahih Bukhori paling paten, Fathul Bari.
Studi analisisnya kemudian, andaikan memang mazhab Syafi'i tidak sesuai sunnah, tidak sejalan dengan hadits, tentu kedua Ulama besar hadits inilah yang akan lebih dahulu menolak mazhab dan memilih langsung kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah.
Tetapi kenyataan yang kita tahu, tidak demikian adanya. Melainkan meskipun mereka ulama terbilang hebat dan punya martabat di mata masyarakat lintas generasi di kemudian hari, mereka masih sadar akan batas kemampuan dirinya.
Sedangkan yang terjadi saat ini justru kebalikannya, banyak kita ketahui bersliweran Ngus-tadz karbitan yang hafalan Al-Qurannya masih banyak dipertanyakan, bahkan terkadang belajar Al-Qur'annya sebatas pada level metode (belum mencapai pada level tafsir atau bahkan pada level penelitian), hafalan haditsnya tak lebih dari empat puluh (terkadang juga belum mampu memahami isinya dengan baik), kemampuan bahasa Arabnya masih minim dan memprihatinkan, kok malah berani dengan sombongnya mengatakan dan mengkampayekan bahwa "pendapat ulama mazhab itu tidak ada gunanya untuk diikuti." Ini suatu penyimpangan yang sedang merajalelahkan masyarakat sekitar kita, bila ketemu dengan Ngus-tadz karbitan ini patut kita diingatkan biar terbangun dari tidur nyenyaknya.
#Semoga Bermanfaat & Menambah Berkah ...
#Salam Perubahan, Menuju Kemajuan, Dengan Tujuan ...
#Salam Satu Jiwa, Buktikan Kita Pasti Bisa ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar