Dalam sejarah peradaban dunia pada akhir 1957, Rusia meluncurkan pesawat Sputnik. Akibatnya Amerika Serikat (AS) terkejut dan merasa ketinggalan zaman. Serta-merta Politisi AS menuding pendidikan sebagai biang keladi ketertinggalan bangsa AS dari Rusia. Presiden John F Kennedy menanggapi serius "rendahnya mutu" pendidikan AS saat itu dan mencanangkan program peningkatan mutu pendidikan. Hasil akhirnya di Tahun 1969, Neil Amstrong mendaratkan Apollo di Bulan.
Tanggapan dan reaksi yang dilakukan Amerika itu menunjukkan, bahwa dunia pendidikan menempati posisi strategis dalam menentukan maju tidaknya suatu bangsa. Sebagai pucuk pimpinan, John F Kennedy tidak terima dikalahkan oleh Rusia. John F Kennedy berambisi mengejar kekalahan atau ketertinggalannya, diantaranya dengan menggenjot dunia Pendidikan ke arah berkemajuan .
Ini suatu pertanda dalam ranah itu, John F Kennedy sudah bisa membaca akar dan hasil. Ketika hasil tidak memuaskan yang dicapi oleh negara atau masyarakatnya, John F Kennedy melacak dari aspek akar masalahnya. Akar masalah ini terletak pada aspek strategis, yakni dunia pendidikan. Kesalahan dalam hal pengabaian dunia Pendidikan membuat Amerika harus membayar mahal, yakni kalah dalam pertarungan hasil Iptek dengan negara lain.
Kejayaan atau kemajuan yang di capai AS itulah yang disebut akibat Sputnik, keterkejutan atas ketertinggalan yang membawa kepada kesadaran perlunya sebuah perubahan. Sputnik membuat John F Kennedy tidak tinggal diam. Ia melakukan gerakan perubahan. Hanya dengan mengubah paradigma dan kebijakan dunia Pendidikan, maka “dunia lainnya” bisa diubah, atau diantarkan menunju kemajuannya.
Refleksifitasnya sekarang pada bangsa kita ini, bangsa Indonesia sebetulnya sudah sering dikejutkan dengan berbagai lembaga internasional yang memberi penilaian yang tidak enak didengar, yang sejatinya sebagai kritik serius yang menunjukkan pada kita kalau sebenarnya masih banyak “pekerjaan rumah” bangsa yang harus dibenahi disana-sini, yang berhubungan dengan masalah sumber daya manusia (SDM).
Diantara salah satu dari penilaian itu adalah tentang rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia yang menempatkan Indonesia di posisi amat rendah, sehingga ketika kita diposisikan demikian, hal ini identik dengan mempertanyakan tentang keseriusan kita dalam mengedukasikan diri di situasi atau kondisi apapun.
Tantangan yang terjadi di era yang sulit seperti yang masih berlangsung sampai sekarang ini akibat virus Corona, patut diapresiasi langkah Negara (pemerintah) yang tidak main-main dengan Pendidikan. Negara menelorkan kebijakan “tetap wajib” belajar dan belajar, meskipun dari rumah. Tidak boleh ada istilah libur dalam belajar.
Keberadaan setiap subyek didik punya kewajiban menunjukkan aktifitasnya dengan menciptakan atmosfir edukasi dimana-mana, meski tidak harus bersama-sama (dalam tatap muka). Mereka diwajibkan untuk menjaga urgensinya proses pembelajaran demi keberdayaan, kejayaan, dan keemasan bangsa.
Dalam hal ini secara umum, potret bangsa bisa terbaca melalui penyelenggaraan pendidikannya. Kalau bangsa ini maju, niscaya pendidikannya maju. Kalau bangsa ini mundur, berarti pendidikannya tidak maju. Atas dasar ini, bisa kita pahami langkah pemerintah yang tidak menginginkan akibat Corona, lantas dunia pendidikan menjadi terimbas dalam ranah ketidakberdayaan.
Konsep paradigma kausalitas itulah yang seringkali digunakan menembak atau memperlakukan Indonesia sebagai “tersangka” dengan dakwaan pendidikannya masih belum beranjak dari lingkaran stagnasi atau hanya sedikit progresifitas, atau jauh dari misi menyelamatkan dan mencerahkan sumberdaya pendidikan.
#Semoga Bermanfaat & Menambah Berkah ...
#Salam Perubahan, Menuju Kemajuan, Dengan Tujuan ...
#Salam Satu Jiwa, Buktikan Kita Pasti Bisa ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar